Impor Minyak Rp 500 Triliun: Mungkinkah Dihentikan?

Oleh : Prof. Dr. Rizal Djalil

Nasional516 Dilihat

DEPATINEWS.COM- Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada tanggal 18 Januari 2025 pada acara salah satu Ormas di Jakarta bahwa pada tahun 2024 realisasi impor minyak kita Rp 500 triliun. Impor minyak nasional 297 juta barel, yang terdiri dari impor minyak mentah 129 juta barrel dan impor BBM 168 juta barrel. Sebagian besar impor (54 persen) tersebut berasal dari Singapura: negeri yang tidak mempunyai sumur minyak.

Bagaimana sebenarnya situasi dan politik perminyakan kita? Cadangan minyak kita diperkirakan 4,7 miliar barrel (0,2 persen dari cadangan minyak dunia) yang akan habis dalam rentang waktu 12 tahun. Sebagai perbandingan cadangan minyak Malaysia 2,7 milyar barrel. Sedangkan cadangan minyak terbesar di dunia dimiliki oleh: Venezuela 303,22 miliar barrel, Arab Saudi 267,19 miliar barrel dan Iran 208,6 miliar barrel. Namun, produsen minyak terbesar adalah Amerika 18 juta barrel perhari; Arab Saudi 10,8 juta barrel per hari dan Rusia 10,7 juta barrel perhari. Tingginya produksi minyak di tiga negara tersebut berkorelasi positif dengan penguasaan teknologi perminyakan mutakhir dan adanya “an attractive and enticing investment climate”.

Target lifting minyak Indonesia dalam APBN 2024 tercatat 635 ribu barrel per hari, sedangkan realisasinya hanya 532 ribu barrel perhari. Sedangkan konsumsi minyak kita per hari 1,6 juta barrel. Itulah makanya harus melakukan impor sekitar 1 juta barrel per hari.
Walaupun kita memiliki 40.000 ribu sumur minyak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, tapi sumur minyak yang aktif hanya 16.000, selebihnya tidak aktif dan merupakan sumur tua.

Situasi kilang minyak kita juga “tidak baik-baik saja”: Kilang Plaju merupakan kilang tertua dibangun oleh Belanda tahun 1904 mempunyai kapasitas pengolahan 126 ribu barrel per hari. Kapasitas kilang lainnya seperti: Dumai (1968) 127 barrel perhari; Kilang Cilacap (1974) 345 ribu barel dan Balongan (1994) 150 ribu barrel per hari. Satu-satunya kilang yang dibangun melalui inisiatif aksi korporasi Pertamina, yakni Kilang Balikpapan pada tahun 2019, diharapkan tuntas penyelesaiannya pada tahun 2025 dengan kapasitas 360 ribu barrel per hari. Sementara pembangunan Kilang Tuban masih terseok-seok, berkutat dengan berbagai kendala dan belum teratasi hingga saat ini.

Dalam rentang waktu lebih 20 tahun terutama periode pemerintahan 2004-2014 tidak ada satupun kilang baru yang dibangun. Bahkan berita rencana pembangunan kilang minyak pun tidak ada. Padahal pada era tersebut bercokol tehnokrat berlatar perminyakan di pemerintahan.

Padahal membangun kilang minyak termasuk kepentingan nasional yang fundamental, sehingga negara sejak dulu sampai saat ini (2024) tidak perlu mengimpor BBM dari Singapura dalam jumlah jumbo. Devisa negara akan terjaga. Kita tidak tahu bleid pemerintahan saat itu tidak merealisaikan pembangunan kilang.

Bagaimana ke depan? Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam kebijakan energinya secara tegas ingin menghentikan impor BBM dan menargetkan kemandiran energi nasional dalam 5 tahun. Kebijakan ini sangat relevan dan kontekstual, kita tinggal menanti implementasinya secara nyata.

Beberapa masukan untuk dipertimbangkan: Pertama, implementasi konsep swasembada dan kemandirian energi memerlukan waktu tidak mungkin serta merta dalam rentang waktu 5 tahun. Mungkin ketahanan energi (energy security) lebih relevan. Menurut Arcandra Tahar, PhD dari Texas A&M University Ocean Engineering yang memiliki tiga Hak Paten di bidang Oil & Gas, Energy Security yang paling tepat untuk Indonesia dengan cara tehnokratik fokus mengoptimalkan pengelolaan migas dalam negeri.

Kedua, kemudahan investasi di bidang migas harus segera benar-benar terimplementasi. Sebaiknya, semua perizinan satu pintu saja di tingkat pusat. Kemudahan perizinan harus disertai dengan kebijakan perpajakan ringan terutama pada era explorasi. Kalau Nigeria saja bisa, Indonesia harusnya lebih bisa. Lihatlah apa yang disampaikan Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu pada CEO Total Energies Worldwide Patrick Pouyanne di Abuya tanggal 18 Desember 2023 yang lalu

“Kami akan menghilangkan segala ketidakjelasan dan hambatan antiinvestasi di industri minyak dan gas kami, dan kami siap bekerjasama dengan anda”. Dan CEO Total langsung menyatakan komitmen investasi sebesar 6 miliar dolar AS. Saat ini, Nigeria merupakan negara berkembang yang telah berhasil menghentikan subsidi BBM tanpa gejolak berarti.

Ketiga, kilang pengolahan minyak baru dan kilang yang sudah unzur, secara teknis dan ekonomis harus segera dibangun dengan teknologi mutakhir. Kendala finansial bisa diatasi melalui joint venture dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri, termasuk pihak yang terganggu kepentingannya bila Indonesia memiliki kilang yang modern dan dapat memenuhi kebutuhan BBM nasional.

Keempat, sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan Panas Bumi terbesar di dunia, sekitar 23,7 gigawatt perlu dipertimbangkan dan diupayakan pemanfaatan Panas Bumi sebagai sumber energi. Ada pihak yang mengatakan investasinya mahal, mungkin di awal memang mahal, tapi untuk jangka panjang terutama dalam kontek ketahanan energi, paling tepat untuk kepentingan nasional.

Kelima, pengembangan B40 bahkan B50 perlu terus dilakukan sehingga betul-betul memenuhi kelayakan secara teknis dan ekonomis. Perlu juga dilakukan pembicaraan yang lebih intensif terkait inisiatif ini dengan semua stakeholder terkait, baik pengusaha nasional maupun Pertamina. Sehingga sekecil apapun resiko yang muncul sebagai konsekuensi kebijakan dapat diminimalisir.

Keenam, Tekanan International supaya kita menutup PLTU batu bara perlu dihadapi dengan basis kepentingan nasional kita di atas segala kepentingan lainnya. Dengan cadangan Batubara 30,22 miliar ton pada awal Januari 2024 harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional. Tentu kita harus mengadop teknologi mutakhir sehingga dampak negatif Batubara sebagai sumber energi dapat dihilangkan, paling tidak diperkecil. Untuk menghadapi tekanan internasional mungkin pengalaman negosiasi sengketa komoditi kelapa sawit dengan Masyarakat Uni Eropa dapat dimanfaatkan. Di sisi lain, kita juga dapat menarik “hikmah” bagaimana Presiden Donald Trump membela kepentingan Nasional Amerika, mulai dari soal tarif dengan negara yang berdagang dengan Amerika sampai cabut dari Perjanjian Paris. Substansi yang dapat kita ambil, kalau sudah bicara kepentingan nasional, semua harus dilakukan secara tegas dan terbuka.

Oleh: Rizal Djalil
Eks Ketua BPK RI & Pernah Memimpin Audit Kinierja Kementerian ESDM 2014-2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *