Dana Transfer Daerah & Stabilitas Politik

Oleh : Rizal Djalil Anggota Komisi Keuangan dan Panitia Anggaran DPR RI Tahun 1999-2009 Mantan Ketua BPK RI & Pernah Memimpin Audit Keuangan Daerah 2009 - 2013.

Tak Berkategori166 Dilihat

DEPATINEWS.COM, JAKARTA— Pada tanggal 21 Agustus 2025 di DPR RI : Penanggung Jawab Fiskal dan Bendahara Negara menyatakan, bahwa Dana Transfer Daerah Tahun 2026 turun sekitar 269,9 T ( 29,34%) dibandingkan tahun Tahun 2025. Pada tahun 2025 dana transfer Daerah berjumlah Rp 919,9 Triliun sedangkan pada tahun 2026 direncanakan hanya Rp 650 triliun.

Pernyataan ini menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan baik secara terbuka maupun melaui komunikasi terbatas. Yang perlu digaris bawahi bahwa rencana penurunan yang disampaikan tersebut baru sebatas Rancangan yang harus dibahas dengan DPR. Kita menunggu sikap DPR. Bisa saja DPR menyetujui sepenuhnya usulan Pemerintah, bisa juga terjadi koreksi dan perubahan terhadap rancangan Pemerintah.
Itu lazim dan sering terjadi sejak periode – periode sebelumnya sampai sekarang.

Desentralisasi fiskal

Apa yang dimaksud dengan Dana Transfer Daerah? Dana transfer Daerah adalah bagian APBN yang dialokasikan dan disalurkan kepada Pemerintah Daerah untuk membiayai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, mendukung layanan publik dan mendorong pembangunan daerah agar lebih merata serta mengurangi kesenjangan fiskal. Dana tersebut berupa : Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan Dana Insentif Daerah. Kebijakan ini merupakan Implementasi Undang-Undang No. 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Selain dana transfer Daerah dari pusat, penerimaan daerah dapat berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti pajak daerah dan retribusi yang dipungut langsung oleh pemerintah daerah.

Apa yang menjadi soal? Yang menjadi soal adalah sebagian besar daerah sangat tergantung kepada dana transfer dari Pusat. : Tidak kurang 493 dari 552 daerah mengalami keterbatasan fiskal dan menggantungkan diri pada dana transfer dari pusat, untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah. Hanya Propinsi Daerah Khusus Jakarta yang tergolong propinsi dengan fiskal kuat : Realisasi PAD Jakarta tahun 2024 Rp 50,67 triliun ( 100 % target PAD tahun 2024 tercapai ). Daerah kabupaten kota dengan realisasi PAD tertinggi pada tahun 2024 adalah : Kota Pasuruan, Kota Denpasar, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang dan Kota Yogyakarta. Sedangkan kabupaten dengan PAD tertinggi : Kabupaten Badung , Kabupaten Tangerang , Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Mahakam Hulu dan Kabupaten Balangan.

Pati efek

Dengan menurunnya dana transfer pusat kedaerah tentu membuat daerah, yang kemampuan fiskal terbatas mengalami kesulitan untuk menggerakkan roda Pemerintahan di daerah. Apalagi sebagian besar Dana Alokasi Umum habis untuk belanja pegawai. Seperti yang dinyatakan Gubernur Maluku Utara Sherly Laos dalam Rapat Dengar Mendapat dengan Komisi II DPR RI pada tanggal 30 April 2025 : ” Kondisi fiskal kami sangat lemah, seluruh DAU yang kami terima habis untuk belanja pegawai ” . Apa yang dinyatakan oleh Gubernur Maluku Utara sebenarnya merupakan cermin kondisi fiskal sebagian besar daerah di Indonesia. Tidak mungkin Kepala Daerah di level apapun membiarkan : pelayanan publik menurun : jalan rusak dimana-mana, pelayanan kesehatan terbatas ( kadang-kadang masyarakat harus membayar mahal terutama untuk obat), dan fasilitas pendidikan berupa ruang klas banyak yang rusak , fasilitas sanitasi sekolah sangat terbatas dan jaringan internet belum memadai dan merata.

Kondisi inilah yang menyebabkan kepala daerah mengambil jalan pintas : dengan menaikan Pendapatan Asli Daerah melalui rencana menaikan pajak. Yang mencuat di Media antara lain : Kabupaten Pati menaikan PBB 250%, Kabupaten Bone 300%, Kabupaten Semarang 400%, Kota Cirebon 150- 1000 % dan Kabupaten Jombang 400%. Dan sekitar 104 Kabupaten akan menaikan tarif PBB.
Apa yang salah dengan menaikan pajak daerah? Tidak ada yang salah. Menaikan pajak merupakan kewenangan Kepala daerah. Yang menjadi masalah adalah : bila kenaikan pajak yang ditetapkan tidak proporsional , jauh melampaui kemampuan riel masyarakat. Apalagi dilakukan tanpa proses sosialisasi yang memadai kepada masyarakat sebagai wajib pajak. Ditambah sikap ” showing off power ” oleh oknum kepala daerah tertentu. Apa yang terjadi kemudian ? Itulah yang kita saksikan di Pati dan Bone : Timbul perlawanan dalam bentuk demonstrasi besar-besaran di Pati dan Bone. Bahkan di Pati demo berbelok arah : meminta bupati mundur dan turun. Ini membuktikan lagi kepada kita semua, bahwa sebuah Gerakan Massa yang masif bisa saja berubah menjadi ” desakan dan tuntutan liar ” yang tidak terduga sebelumnya. Kita tidak ingin ditengah-tengah upaya Pemerintah memperbaiki keadaan bangsa : melalui program yang fokus untuk mensejahterakan Masyarakat dan penegakan hukum yang lebih berkeadilan : justru menimbulkan instabilitas politik ditengah masyarakat. Hal ini bila tidak dikendalikan dan dicari penyelesaian secara tuntas bisa membahayakan stabilitas politik di level nasional. Faktor masifnya Media Sosial saat ini juga turut mepercepat beredar informasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Mencegah selalu lebih baik kata pepatah.

Apa yang harus dilakukan ? Surat Edaran Menteri perlu, tapi itu tidak menyentuh akar masalah.

Sejarah Republik ini telah membuktikan pada era tahun lima puluhan bahwa kebijakan Pemerintah Pusat saat itu yang terlalu sentralistik dan kurang memperhatikan kebutuhan dan aspirasi daerah menimbulkan Gejolak bahkan mengancam Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita harus belajar dari apa terjadi pada masa lalu. Para pengambil keputusan dibidang fiskal dan DPR sebaiknya menghindari keputusan politik anggaran yang dapat menjadi ” amunisi dan pemicu ” kegaduhan yang bisa berujung pada instabilitas politik. Diera Global saat ini stabilitas politik dan kepastian hukum menjadi prasyarat berjalan nya roda pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi.

Politik Anggaran

Kalo kita mencermati pernyataan Menteri Keuangan di DPR tanggal. 21 Agustus ” Penyesuaian ( baca penurunan: dari penulis ) alokasi TKD merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah untuk memperbesar alokasi belanja Kementerian Lembaga yang diarahkan langsung untuk dinikmati masyarakat dan mendukung program prioritas yang dilaksanakan didaerah “.
Dari pernyataan tersebut terungkap dan diakui bahwa penurunan Transfer Daerah karena : Pertama, ada pengalihan dana ( yang seharusnya kedaerah ) ke Kementerian Lembaga di Pusat. Kedua, ada penghalusan narasi seolah-olah semua dana tersebut akan bermuara kedaerah juga. Kenyataan dilapangan tidak sesederhana itu. Tidak semua daerah punya kapasitas yang sama untuk mendorong program pusat mengalir kedaerahnya. Kementerian dan Badan di pusatlah yang menentukan alokasi dan distribusi program dan anggaran kedaerah. Bahkan DPR pun tidak ikut membahas sampai Satuan Tiga ( detil anggaran sampai kedaerah). Ketiga, tersirat juga bahwa suka tidak suka, pemerintah daerah harus menerima kebijakan penurunan dana transfer Daerah.
Politik anggaran seperti ini kurang Arif bila tidak mau dikatakan kurang cermat dan tidak aspiratif. Bahkan bila dilakukan terus menerus dapat menimbulkan Gejolak didaerah dan mengganggu stabilitas politik nasional.

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah Daerah dilibatkan secara aktif dalam setiap program prioritas pusat di daerah ? Jawabannya seharus ya. Tapi kenyataan dilapangan banyak daerah merasa tidak dilibatkan dalam program prioritas pemerintah pusat. Semuanya diatur dan bahkan dilaksanakan oleh pusat baik secara tehnis maupun anggaran. Kondisi ini bukan saja mengurangi ” multiplier effect ” bagi daerah tapi dalam jangka panjang , dapat juga menggerus dukungan substastantif pemerintah daerah terhadap Pusat. Karena pemerintah di daerahlah ujung tombak pembangunan : yang berhadapan langsung menghadapi komplain masyarakat , bila terjadi pelayanan publik yang buruk karena dana terbatas . Bagaimana kita mengatasi permamasalahan ini? Beberapa catatan berikut ini mungkin dapat dipertimbangkan :

Pertama, dalam kondisi fiskal yang terbatas
karena akumulasi persoalan ekonomi global dan nasional maka seyogianya Anggaran Negara didistribusikan dan dialokasikan secara hati-hati dan adil. Semua pihak diminta kearifan dan kebijakan dalam memutuskan segala sesuatu terkait anggaran . Hampir semua kalangan setuju dengan Substansi dan urgensi Program Makan Bergizi Gratis ( MBG) tapi kenaikan yang sangat drastis dari Rp 171 triliun pada 2025 menjadi Rp 335 triliun pada tahun 2026 naik sekitar 96 % : menarik perhatian banyak pihak bukan hanya para pengamat, tetapi juga berbagai kalangan baik secara tertutup maupun melalui media tertentu.
Apalagi, kalau kita cermati daya serap anggaran MBG per Juni 2025 : baru mencapai Rp 5 triliun. Mungkinkah anggaran tahun 2025 sebesar Rp 171 triliun terserap dan terimplementasi semuanya dalam rentang waktu Empat bulan kedepan ?

Itulah makanya kita mengingatkan pentingnya asas kehati-hatian dalam mengalokasikan anggaran. Sehingga tidak ada sektor ( transfer Daerah ) yang harus terkena dampak. MBG harus naik ya, tapi naiknya secara proporsional dengan memperhatikan penyerapan dan tanpa harus mengorbankan sektor lain. Dan juga harus mempertimbangkan kemampuan fiskal secara nasional.

Kedua, Kita harus mengungkapkan dan mengingatkan kembali bahwa pada era Rezim Jokowi utang pemerintah meningkat : TIGA KALI LIPAT. Total utang pemerintah per desember 2024 menjadi Rp 10.269 ( SEPULUH RIBU DUA RATUS ENAM PULUH SEMBILAN ) TRILIUN. Utang ini dipakai untuk membangun infrastruktur termasuk IKN yang tidak sepenuhnya melalui kajian yang super matang terutama aspek pembiayaannya. Lagi pula proyek tersebut belum sepenuhnya menjadi kebutuhan utama sebagian besar rakyat. Beban hutang ” beranak Pinak ” secara nyata tampak pada Proyek KCIC diperkirakan rugi Rp 4 triliun pada tahun 2025. Pada hal sebelumnya pernyataan pemerintah Rezim Jokowi mengatakan Proyek KCIC tidak menjadi beban APBN dan IKN akan didanai Investasi asing. Kenyataannya bertolak belakang : semuanya saat ini menjadi beban APBN melalui mekanisme tertentu.

Itulah resiko bila proyek besar dibangun dimaksudkan untuk menjadi legacy personal. Akhirnya menjadi beban Keuangan Negaran dan pada akhirnya juga akan ditanggung oleh seluruh Rakyat Indonesia melalui pajak yang dibayarkan.
Sebenarnya tidak penting juga kesohor , tapi tekor demi legacy. Karena legacy terbaik seorang pemimpin adalah Totalitas kebijakan dan program untuk sebenar-benarnya yang menjadi kebutuhan sebagian besar rakyat dan menjamin Kedaulatan Bangsa dari segala aspek. Itulah lah yang dilakukan oleh para pemimpin besar dunia yang tercatat melegenda dalam sejarah : Sultan Mehmet II ( Al Fatih ) bukan saja berhasil menaklukan Konstantinopel ( Ibukota Romawi Timur) tetapi juga membangun Grand Bazar di Istanbul ( sekarang) untuk kepentingan rakyatnya, sampai hari ini ( 560 th ) masih tegak berdiri dan bermanfaat buat Rakyat Tukiye Modern. Its legend.

Ketiga, Terkait utang dalam dokumen Nota Keuangan Buku II : pada tahun 2026 akan ditarik utang baru sebesar Rp 781,87 triliun. Penting kiranya sebelum menambah utang tersebut Penanggung jawab fiskal diminta menjelaskan dalam sidang kabinet terbatas atau sidang kabinet lengkap : bagaimana sebenarnya kekuatan dan beban fiskal yang sedang kita hadapi. Dan mengapa harus menambah utang dan bagaimana mekanisme utang dibuat serta kepada siapa sesungguhnya Negara berutang termasuk total beban utang yang menjadi beban negara saat ini. Kepada Menteri Sekretaris Negara sebelumnya dapat meminta Laporan Hasil Audit tentang Pengelolaan Utang pada BPK RI. Dengan demikian diharapkan semua stakeholder memahami beban utang yang ditanggung negara. Dan lebih penting lagi apakah strategi ” Gali lobang tutup lobang ” merupakan satu-satunya cara mengelola fiskal republik ini. Walaupun Pemerintahan berganti tapi budaya ” memelihara utang ” tidak berubah karena pemainnya tetap sama. Kita tidak mau menjadi Sri Lanka berikutnya: Negara gagal yang terserang virus ” debt trap”. Jargon utang kita aman , utang dikelola dengan kehatian-hatian : sudah seharusnya dibuka dengan data kemampuan Riel kita membayar. Buka semua realisasi pajak. Termasuk untuk apa SAL digunakan sepuluh tahun terakhir.
Kita tidak mau ada lagi kebijakan menggenjot penerimaan negara melalui pajak, ibarat ” hunting in zoo “. Terutama membebani rakyat dengan menaikan PPN. Seperti yang terjadi disaat-saat senjanya kekuasaan Jokowi, terulang lagi.

Perlu juga ditegaskan kita memang perlu berhubungan baik bahkan bekerja sama dengan Lembaga Internasional seperti IMF dan Bank Dunia tapi hubungan itu haruslah demi kepentingan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia bukan hanya sebagai ” sekoci ” personal. Seperti yang pernah terjadi pasca kasus besar tertentu.

Keempat, DPR dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengoreksi bahkan membahas supaya keputusan menurunkan dana transfer Daerah dapat dipertimbangkan kembali. Selain di Badan Anggaran , forum lintas fraksi dapat digunakan untuk membicarakan hal tersebut. Tidak seorangpun Anggota DPR ingin roda pemerintahan dan pelayanan publik dasar di daerah pemilihannya terganggu karena berkurangnya dana transfer Daerah dari pusat. DPR juga dapat membahas dengan pemerintah supaya ” efisiensi ” anggaran di daerah jangan sampai berdampak matinya kegiatan ekonomi seperti hotel dan tempat wisata. Karena Pemerintah membatasi acara di hotel dan fasilitas lainya yang ada didaerah. DPR dapat juga mendorong restrukturisasi BUMD yang tidak sehat menjadi produktif sehingga dapat berkontribusi menambah PAD.

Kelima, Pada era globalisasi saat ini interkoneksi antar negara tak terhindarkan. Setiap negara bersaing untuk mendapatkan yang terbaik kepentingan negaranya masing-masing. Namun kita patut juga melakukan komparasi ” looking out the window ” bagaimana negara lain di Asean mengelola isu yang relatif sama dengan kita. Vietnam sebagai sesama negara Asean ekonominya pada Semester I tahun 2025 tumbuh 7,52% , Capaian ini ” clean & clear ” tanpa ada ” fabrikasi ” angka dan kehebohan terhadap angka tersebut. Karena mereka menyadari sepenuhnya Transfaransi dan kepastian indikator ekonomi menjadi Magnit investasi di negara mereka. Pada tahun 2024 investasi asing di Vietnam naik 9,4% dengan nilai mencapai US$ 25,35 miliar.
Vietnam melakukan restrukturisasi jumlah kementerian dan propinsi
dalam rangka efisiensi. Iklim investasi dijaga sebaik mungkin , dengan menekankan kepastian hukum dan birokrasi modern yang relatif baik dan tidak berliku-liku dan berbelit-belit. Stabilitas politik cukup mantap dan stabil. Kondisi inilah membuat Vietnam berbeda dengan negara berkembang lainnya. Bahkan Vietnam dapat meningkatkan dana transfer kedaerah sebesar 13 %. Semoga Stabilitas politik kita tetap kondusif dan ekonomi tumbuh 8%.InsyaAllah.

Kepada para pejabat tinggi dan pembantu presiden – apalagi yang mendapat predikat menteri terbaik dari – institusi tertentu dan lama di pemerintahan Rezim Jokowi : berilah pertimbangan yang rasional , profesional , katakan yang mungkin dan tidak mungkin sehingga Pengambil keputusan tertinggi memperoleh gambaran yang nyata dan apa adanya. Jangan hanya sekedar mempertahankan jabatan dan terhindar dari ” potensi dibuka kasus lama ” lantas malah mendorong pengambilan keputusan yang berpotensi mengganggu stabilitas politik saat ini dan beban bagi negara dikemudian hari. Berlaku dan bertindaklah profesional jangan malah bersikap seperti segelintir politisi yang tidak profesional.

Ketiga , Anggota DPR diharapkan dapat menggunakan hak konstitusional yang dimiliki untuk mengoreksi rancangan APBN yang diajukan pemerintah. Sebaiknya Dana transfer kedaerah tidak dipotong seperti format usulan pemerintah. Kalaupun harus ada penyesuaian jangan sampai mengganggu jalannya Roda pemerintahan dan pelayanan publik dasar didaerah. Mekanisme lintas fraksi bisa digunakan untuk memecahkan masalah ini. Kita yakin tidak ada anggota DPR yang ingin melihat Daerah Pemilihannya terseok- seok menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan publik dasar karena keterbatasan dana.

Keempat , implementasi efisiensi anggaran di daerah harus mempertimbangkan dinamika ekonomi masyarakat setempat. Bila sudah dianggarkan sesuai peraturan – perundangan yang berlaku sebaiknya Rapat yang memang perlu dihotel tidak perlu dilarang : untuk menghindari terjadinya PHK sektor jasa perhotelan. Disamping itu pemerintah daerah juga akan mendapatkan pajak dan retribusi dari kegiatan tersebut
.

Kelima Pemda diminta memanfaatkan secara maksimal potensi penerimaan melalui BUMD terutama dari sektor pertambangan dan perbankan. Pengelolaan BUMD oleh tenaga profesional dengan Tata kelola Yang baik kiranya dapat meningkatkan penerimaan daerah dari BUMD.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed