DEPATINEWS.COM– Sejak era reformasi, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bisa dibilang merupakan Pemerintahan yang paling kuat. Mengapa demikian: Pertama, hampir semua spektrum politik di Indonesia, kecuali PDIP, terwakili di Kabinet. Walaupun tokoh yang dianggap dekat dengan PDIP diakomodir juga di Kabinet Merah Putih. Bisa dikatakan, Kabinet Presiden Prabowo Subianto bersifat akomodatif.
Kedua, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus sebagai pendukung Pemerintah Prabowo Subianto, mempunyai 470 kursi DPR RI atau sekitar 81 persen. Dapat dikatakan, mayoritas mutlak. Sehingga, apapun agenda yang diajukan -semasih untuk kepentingan rakyat Indonesia- akan berjalan dengan mulus dan lancar. Buktinya? Mulusnya pembahasan UU No 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara dan demikian juga pembahasan APBN Tahun 2025 berjalan sangat cepat.
Orang bertanya, bagaimana dengan PDIP? Realita politik menunjukkan, PDIP memilih berada di luar pemerintahan -sampai saat ini karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi 6 bulan ke depan-, terutama setelah Kongres PDIP yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Kalau begitu, PDIP oposisi? Jawabannya tidak sesederhana itu, karena melihat distribusi kekuasaan di Indonesia tidak cukup hanya soal keberadaan kader dalam Kabinet. Kita juga harus melihat posisi pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. Posisi Ketua DPR RI diduduki oleh kader utama PDIP, demikian juga Ketua BPK, dulunya Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP.
Jabatan prestisius dan sangat strategis di DPR RI: Ketua Badan Anggaran, Ketua Komisi I dan Ketua Komisi V juga dijabat oleh kader PDIP.
Ada yang mengatakan “itu karena PDIP pemenang Pemilu”, ya benar, tapi dalam percaturan politik di DPR RI, sejak dulu kala tidak selalu pemenang Pemilu menjadi Ketua DPR. Masih ingat KH Idham Cholid, Tokoh NU dari PPP, pernah menjadi Ketua DPR, padahal partainya bukan pemenang Pemilu. Yang ingin kita garis bawahi, duduknya kader PDIP pada jabatan strategis di DPR dan lembaga negara lainnya, pastilah atas kerjasama dan “pengertian” KIM plus, terutama Gerindra.
“Hasil” kerja sama tersebut terlihat dari sikap PDIP terhadap “riak kecil” terhadap kenaikan PPN 12 persen di penghujung tahun 2024. Tidak sekeras reaksi terhadap pemerintahan era Presiden SBY saat menaikkan harga BBM saat itu. Bahkan, ada “tangis bersama” waktu itu.
Sebagai partai berkuasa selama 10 tahun dengan segala “suka dan cita”, tentu pengorbanan juga, patut diduga PDIP tidak akan terlalu frontal terhadap Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Realita politik saat ini menempatkan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, bukan saja memperoleh dukungan signifikan di Parlemen, tetapi juga mendapat dukungan hampir semua kalangan masyarakat, termasuk dukungan dari kelompok yang sebelumnya berseberangan dengan rezim penguasa sebelumnya. Tokoh Aceh, politisi Senior Akhmad Farhan Hamid bercerita, betapa masyarakat Aceh senang dan bangga: mengikuti pernyataan Presiden Prabowo di berbagai kesempatan, yang disampaikan dengan data apa adanya, serta yang sederhana dan mudah dimengerti.
Demikian juga penampilan Presiden Prabowo di gelanggang internasional, terutama interaksi dengan pemimpin terkemuka dunia, telah membangkitkan pesona dan kebanggaan tersendiri di tengah masyarakat.
Walaupun demikian, ada juga suara-suara nyinyir dan sikap kurang sabar dari sementara pihak, antara lain mengatakan kabinet besar, boroslah, dan lain-lain. Bagaimana mengatakan boros? DIPA saja baru diterima 16 Desember 2024. Presiden di setiap kesempatan selalu menekankan pentingnya efisiensi dan berhemat: bahkan rapat, seminar dan kunjungan ke luar negeri sangat dibatasi. Lagi pula, realisasi anggaran pemerintah, termasuk anggaran menteri dan outputnya baru bisa diketahui 1 tahun kemudian, setelah BPK RI melakukan audit Laporan Keuangan Pemerintah.
Di luar negeri, kritik dan respons terhadap kebijakan Pemerintah, lazimnya dilakukan setelah pemerintahan berjalan 100 hari. Ex Kanselir Jerman, Angela Merkel pernah ditanya wartawan beberapa hari setelah Kanselir Olaf Scholz dari Partai SPD menjabat. Merkel menolak berkomentar. Merkel baru menyampaikan pandangannya, termasuk membela kebijakannya terhadap Rusia, 6 bulan kemudian melalui wawancara eksklusif dengan Televisi Aljazeera, 8 juni 2022.
Kalau kita memperhatikan dengan cermat “gebrakan” Presiden Prabowo Subianto sudah dimulai: Pertama, reschedule IKN hingga 2028. Ini langkah luar biasa secara efisiensi keuangan negara dan politis. Kedua, menyetop pembangunan jalan tol yang tidak begitu urgent. Kebijakan ini sangat rasional dan sudah barang tentu mengurangi penugasan terhadap BUMN Karya yang sudah “babak belur” 10 tahun belakangan ini. Mungkin orang ingin melihat “gebrakan” di bidang pemberantasan korupsi kakap. Secara teknis, ini bukan domain Presiden, melainkan domain penegak hukum, tapi political will sudah nyata disampaikan dan dilaksanakan. Hal itu terlihat dari pemberantasan judi online yang saat ini sedang digencarkan. Terbaru, pelaksanaan program pemberian makan bergizi gratis yang sudah diluncurkan mulai Senin, 6 Januari 2025.
Kita sebaiknya memberikan waktu Kabinet Merah Putih bekerja di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Kita tidak perlu meragukan “nawaitu” Presiden Prabowo untuk Indonesia. Fakta dan track record sudah membuktikan. Letnan Jenderal (Purnawirawan) Yunus Yospiah, seorang jenderal Baret Merah yang sangat disegani elite militer-sangat lama bertugas dalam operasi di Timor Timur-, saat menjabat sebagai Pimpinan Komisi XI DPR RI pernah bercerita kepada saya dan teman-teman, di ruang pimpinan komisi, “betapa egaliter dan profesionalnya Kapten (saat itu) Prabowo Subianto sebagai Komandan Tempur di lapangan.
Bila kita menyimak pernyataan Presiden Prabowo sejak dilantik 20 Oktober 2024 di depan Sidang Umum MPR RI sampai dengan pernyataan di depan Musrenbang 30 Desember 2024, semuanya jelas dan terukur apa yang akan dilaksanakan oleh Pemerintahan Presiden Prabowo, antara lain; penurunan kemiskinan menjadi 4,5 persen, peningkatan Indeks Modal Manusia menjadi 0,59 poin, serta pertumbuhan ekonomi 8 persen pada tahun 2029. Ditambah program strategis di bidang pangan dan energi.
Sedikit catatan: Pertama, pada tahun 2025 ini Pemeritahan Presiden Prabowo harus menanggung “inheritance burden” berupa utang yang jatuh tempo sebesar Rp 800,33 T dan defisit anggaran Rp 507,8 T. Bagaimana menyelesaikan ini? Mengambil utang baru kah? Atau meminta “stand by loan” dari IMF dan Bank Dunia?
Dalam konteks inilah kita memahami mengapa Kementerian Keuangan langsung berada di bawah komando Presidenberbeda dengan kabinet sebelumnya di bawah Menko Perekonomian. Di samping itu, penambahan 3 Wakil Menteri Keuangan: salah satunya dijabat Thomas Djiwandono. Terlihat betul Presiden Prabowo ingin “incharge” dengan problem keuangan negara dan sangat prudent dalam mengelolanya. Tidak akan ada lagi proyek yang bersifat “The King’s Order”.
Semua program akan melalui proses kajian berjenjang dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan skala prioritas, terutama “the needs of many People”.
Kedua, sudah beredar informasi bahwa Pemerintah melalui inisiatif DPR akan meluncurkan Tax Amnesty jilid 3. Ada baiknya, bila program ini ingin dilaksanakan: Presiden Prabowo meminta BPK RI melakukan audit menyeluruh terhadap proses dan hasil dari tax amnesty jilid 1 dan jilid 2. Pada tax amnesty jilid 1, target dana repatriasi Rp 1000 T: hanya berhasil dicapai Rp 130 T, itupun berupa komitmen. Sedangkan pada Tax amnesty jilid 2, dana repatriasi yang terealisasi hanya Rp 10,5 T. Jauh dari target yang digabungkan sebelumnya. Banyak cerita “behind the scene” beredar di kalangan politisi terkait tax amnesty jilid 2.
Mengapa perlu diaudit dan pertimbangan matang untuk melaksanakan tax amnesty jilid 3? Jangan sampai timbul kesan ketidakadilan dalam penerapan kebijakan perpajakan: pengusaha besar diampuni berkali-kali, sedangkan profesional seperti dokter, pengacara dan notaris, serta UKM dikejar-kejar dan diperlakukan dengan tegas dan keras.
Ketiga, kontribusi sektor industri terhadap PDB Indonesia 18,67 persen: angka yang lumayan. Kalau kita menyimak ke belakang: Indonesia telah melakukan pembangunan secara terencana, termasuk Pembangunan Industri sejak tahun 1974 melalui Repelita 1 di bawah Presiden Soeharto. Pada era tersebut, terutama tahun 1980-an, industri tekstil kita berjaya. Ada Sritex yang mendunia dan sepatu Cibaduyut yang melegenda. Namun, hari ini Sritex dan 60 perusahaan tekstil “kolaps”. Sepatu Cibaduyut kurang terdengar lagi. Apa yang salah? Daya saing lemah? Teknologi ketinggalan zaman? Produktifitas rendah? Atau aksi korporasi yang tidak prudent? Atau membludaknya barang impor legal dan ilegal yang memang berkualitas lebih baik dan harganya murah? Apapun itu, Negara harus hadir, bukan hanya saat “krisis” datang, tetapi sedini mungkin mengantisipasi masalah yang datang, sehingga treatment bisa lebih cepat dan mudah. Sebagai perbandingan, China baru pada tahun 1978 melakukan pembangunan industri secara besar-besaran di bawah Kamerad Deng Xiaoping, tapi hasilnya? Produk China mendunia, segala rupa: dari tekstil, sepatu, mobil, handphone, menyerbu pasar dunia, termasuk Indonesia.
Bagaimana dengan kita? Terutama otomotif? Kita sepertinya “asyik dan terlena” dengan: mobil Jepang, Korea dan China yang menguasai pasar kita. Walau ada konten lokal, tapi tetap kita belum punya Mobil merek sendiri. Industri kita hanya merakit dan “menjahit” produk orang lain.
Patut dipahami bila masyarakat terkesima melihat Presiden Prabowo Subianto secara mengejutkan mengendarai Mobil Merek Maung buatan Pindad sebagai mobil resmi kepresidenan. Kalau Pindad bisa, mengapa PT Dirgantara Indonesia (dulu Nurtanio) tidak bisa melanjutkan memproduksi Pesawat N250 yang sangat sesuai untuk kebutuhan Indonesia sebagai Negara Kepulauan? Mungkin, dulu ada masalah finansial dan mungkin juga politis, tapi untuk kepentingan nasional, ada baiknya Pemerintah mempertimbangkan kembali membangkitkan PT DI, lagipula Indonesia sudah dikenal sebagai produsen CN 235 versi sipil dan militer. Dan saat ini, ada ratusan Engineer Indonesia bekerja di Pabrik Pesawat Terbang Boing dan Airbus.
Keempat, dalam rangka mempercepat penurunan angka kemiskinan dan peningkatan kesehatan masyarakat, ada baiknya Pemerintah melalui Kemenko Pemberdayaan Masyarakat bersama Kemenko PMK, menjalin kerjasama dengan Ormas Keagamaan NU-yang memiliki pengikut hampir 150 juta (data 2024) dan Muhammadiyah yang mempunyai Anggota aktif 60 juta (data 2019). Dua organisasi ini jangan hanya didekati saat menjelang Pemilu, tapi dilibatkan secara konkret dalam pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, organisasi profesi, seperti IDI, IBI dan lain-lain, mutlak diajak duduk dan bekerjasama.
Kelima, keberhasilan kunjungan Presiden Prabowo ke Luar Negeri, baik pada forum multilateral seperti APEC dan G 20, beserta kunjungan ke China dan Amerika Serikat, harus dapat segera ditindaklanjuti oleh menteri teknis terkait. Peran para menteri sebagai pembantu Presiden untuk mensukseskan program Pemerintah sangatlah besar. Petunjuk dan target dari Presiden sudah sangat jelas: misalnya Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman di bawah pimpinan Menteri Maruarar Sirait membangun 3 juta rumah dalam 1 tahun sudah bisa mulai dieksekusi dengan langkah yang tepat dan terarah sesuai dengan petunjuk Presiden. Apalagi ada Wakil Menteri Ustad Fahri Hamzah yang sangat menguasai Ekonometrika, akan sangat membantu dalam mensukseskan program kementerian.
Kita berharap semua Menteri fokus terhadap tugas pokok yang diberikan oleh Presiden. Bagi para pembantu Presiden-siapapun dia- jangan sampai menjadi beban bagi Presiden secara politis dan membuat masalah dalam kabinet. Kalau ada yang seperti ini, sebaiknya mundur teratur. Karena tantangan ke depan cukup berat.
Di akhir tulisan ini, saya mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam bukunya berjudul Kepemimpinan Militer jilid 1, halaman 44 paragraf satu “Seorang Pemimpin harus memiliki suatu wawasan yang luas jauh ke depan, sehingga ia akan dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat memperbaiki keadaan hari ini, agar tercapai kemajuan di hari esok.”
Tulisan ini sudah dimuat di Rakyat Merdeka.